Falsafah Ajaran Hidup Jawa memiliki
tiga aras dasar utama yaitu:
Sebagaimana disebut dalam kalimat peringatan “bahwa manusia itu memang wajib berihtiar, namun kepastian berada pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Mengetahui”
- Aras sadar ber-Tuhan
- Aras kesadaran semesta dan aras keberadaban manusia.
- Aras keberadaban manusia implementasinya dalam ujud budi pekerti luhur.
Oleh karena itu sering terjadi
”salah mengerti” dari para pihak yang bukan Jawa. Juga oleh kebanyakan orang
Jawa sendiri. Akibatnya ada anggapan bahwa sesanti dan unen-unen Jawa sebagai
anti-logis atau dianggap bertentangan dengan logika umum. Akibat selanjutnya
berupa kemalasan orang Jawa sendiri untuk mendalami makna sesanti dan unen-unen
yang ada pada khasanah budaya dan peradabannya. Namun kemudian, sesanti dan
unen-unen tersebut dijadikan olok-olok dalam kehidupan masyarakat. Mulat sarira
dan tepa selira diartikan bahwa Jawa sangat toleran dengan perbuatan KKN yang
dilakukan kerabat dan golongannya. Mikul dhuwur mendhem jero dimaknai untuk
tidak mengadili orangtua dan pemimpin yang bersalah.
Alon-alon waton kelakon dianggap
mengajarkan kemalasan.Padahal ajaran sesungguhnya dari sesanti dan unen-unen
tersebut adalah pembekalan watak bagi setiap individu untuk hidup bersama atau
bermasyarakat. Tujuan utamanya adalah terbangunnya kehidupan bersama yang
rukun, dami dan sejahtera. Bukan sebagai dalil pembenar perbuatan salah, buruk
dan tergolong budi asor. Makna dari mulat sarira dan tepa selira adalah untuk
selalu mengoperasionalkan rasa pangrasa dalam bergaul dengan orang lain.Mulat
sarira, mengajarkan untuk selalu instropeksi akan diri sendiri.”Aku ini apa?
Aku ini siapa? Aku ini akan kemana? Aku ini mengapa ada?” Kesadaran untuk
selalu instropeksi pada diri sendiri akan melahirkan watak tepa selira,
berempati secara terus menerus kepada sesama umat manusia. Kebebasan individu
akan berakhir ketika individu yang lain juga berkehendak atau merasa bebas. Maka
pemahaman mulat sarira dan tepa selira merupakan bekal kepada setiap individu
yang mencitakan kebebasan dalam hidup bersama-sama, bukan? Mikul dhuwur mendhem
jero, meskipun dimaksudkan untuk selalu menghormat kepada orangtua dan
pemimpin, namun tidak membutakan diri untuk menilai perbuatan orangtua dan
pemimpin. Karena yang tua dan pemimpin juga memiliki kewajiban yang sama untuk
selalu melakukan perbuatan yang benar, baik dan pener. Justru yang tua dan
pemimpin dituntut ”lebih” dalam mengaktualisasikan budi pekerti luhur. Orangtua
yang tidak memiliki budi luhur disebut tuwa tuwas lir sepah samun. Orangtua
yang tidak ada guna dan makna sehingga tidak pantas ditauladani. Pemimpin yang
tidak memiliki budi luhur juga bukan pemimpin. Alon-alon waton kelakon, bukan
ajaran untuk bermalas-malasan. Namun merupakan ajaran untuk selalu
mengoperasionalkan watak sabar, setia kepada cita-cita sambil menyadari akan
kapasitas diri.Contoh yang mudah dipahami ada dalam dunia pendidikan tinggi.
Normatif setiap mahasiswa untuk bisa menyelesaikan kuliah Strata I dibutuhkan
waktu 8 semester. Namun kapasitas setiap mahasiswa tidaklah sama. Hanya sedikit
yang memiliki kemampuan untuk selesai kuliah 8 semester tersebut. Sedikit pula
yang prestasinya cum-laude dan memuaskan. Rata-rata biasa dan selesai kuliah
lebih dari 8 semester. Dengan mengoperasionalkan ajaran alon-alon waton
kelakon, maka mahasiswa yang kapasitas kemampuannya biasa-biasa akan selesai
kuliah juga meskipun melebihi target waktu 8 semester. Makna positifnya mengajarkan
kesabaran dan tidak putus asa ketika dirinya tidak bisa seperti yang lain.
Landasan falsafahnya, hidup bukanlah kompetisi tetapi lebih mengutamakan
kebersamaan.Banyak pula kita ketemukan Piwulang
Kautaman yang berupa nasehat atau pitutur yang jelas paparannya. Sebagai contoh
adalah sebagai berikut :
“Ing
samubarang gawe aja sok wani mesthekake, awit akeh lelakon kang akeh banget
sambekalane sing ora bisa dinuga tumibane. Jer kaya unine pepenget, “menawa
manungsa iku pancen wajib ihtiyar, nanging pepesthene dumunung ing astane
Pangeran Kang Maha Wikan”
Mula
ora samesthine yen manungsa iku nyumurupi bab-bab sing durung kelakon. Saupama
nyumurupana, prayoga aja diblakakake wong liya, awit temahane mung bakal
murihake bilahi.
Terjemahannya:
“Dalam setiap perbuatan hendaknya jangan sok berani memastikan, sebab banyak sambekala (halangan) yang tidak bisa diramal datangnya pada “perjalanan hidup” (lelakon) manusia.
“Dalam setiap perbuatan hendaknya jangan sok berani memastikan, sebab banyak sambekala (halangan) yang tidak bisa diramal datangnya pada “perjalanan hidup” (lelakon) manusia.
Sebagaimana disebut dalam kalimat peringatan “bahwa manusia itu memang wajib berihtiar, namun kepastian berada pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Mengetahui”
Maka sesungguhnya manusia itu tidak
semestinya mengetahui sesuatu yang belum terjadi. Seandainya mengetahui
(kejadian yang akan datang), kurang baik kalau diberitahukan kepada orang lain,
karena akan mendatangkan bencana (bilahi).”
Piwulang Kautaman memiliki aras kuat
pada kesadaran ber-Tuhan. Maka sebagaimana pitutur diatas, ditabukan mencampuri
“hak prerogatif Tuhan” dalam menentukan dan memastikan kejadian yang belum
terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar