Hitungan
Pasaran yang berjumlah lima itu menurut kepercayaan Jawa adalah sejalan dengan
ajaran “ Sedulur papat, kalima pancer “ empat saudara sekelahiran, kelimanya
pusat.
Ajaran
ini mengandung pengertian bahwa badan manusia yang berupa raga, wadag, atau
jasad lahir bersama empat unsur atau roh yang berasal dari, tanah, air, api dan
udara. Empat unsur itu
masing-masing mempunyai tempat di kiblat empat. Faktor yang kelima bertempat di
pusat, yakni di tengah.
Lima tempat itu adalah juga
tempat lima pasaran, maka persamaan tempat pasaran dan empat unsur dan
kelimanya pusat itu adalah sebagai berikut :
1.
Pasaran Legi bertempat di timur, satu tempat dengan unsur udara, memancarkan
sinar ( aura ) putih.
2.
Pasaran Paing bertempat di selatan, salah satu tempat dengan unsur Api,
memancarkan sinar merah.
3.
Pasaran Pon bertempat di barat, satu temapt dengan unsur air, memancarakan
sinar kuning.
4.
Pasaran Wage bertempat di utara, satu tempat dengan unsur tanah, memancarkan
sinar hitam
5.
Kelima di pusat atau di tengah, adalah tempat Sukma atau Jiwa, memancarkan
sinar manca warna ( bermacam-macam )
Dari ajaran sadulur papat, kalima
pancer dapat diketahui betapa pentingnya Pasaran Kliwon yang tempatnya ditengah
atau pusat ( sentrum ) tengah atau pusat itu tempat jiwa atau sukma yang
memancarkan daya – perbawa atau pengaruh kepada “ Sadulu Papat atau Empat
Saudara ( unsur ) sekelahiran.
Satu peredaran “ Keblat papat
kalima pancer “ itu dimulai dari timur berjalan sesuai dengan perputaran jam
dan berakhir di tengah ( pusat ) Peta dari jalannya dapat digambarkan sebagai
berikut : (bersambung)
menep ing rahsa sateleng kalbu amatek cipta ambasuh sukma
sumunaring raga ambudidaya Nora iguhing palena piker imaningsun anuju
dhat luhur
Nembah asaling muasal oncat hawa lereming asepi
Bila kita Meraga Sukma maupun sholat Dha’im, mula pertama dari ujung kaki akan terasa seperti ada “aliran“ yang menuju ke atas / kekepala. Pada Meraga sukma, bila “aliran“ itu setibanya didada akan menimbulkan rasa ragu-ragu/khawatir atau was-was. Bila kita ikhlas, maka kejadian selanjutnya kita dapat keluar dari jasad, dan yang keluar itu ternyata masih memiliki jasad. Memang sesungguhnyalah, bahwa setiap manusia itu memiliki 3 buah wadah lagi, selain jasad/jasmani yang tampak oleh mata lahir ini. Pada bagian lain bab ini akan kita kupas.Kalau sholat Dha’im bertepatan dengan adanya “Aliran“ dari arah ujung kaki, maka dengan cepat bagian tubuh kita akan “Menghilang“ dan kita akan berubah menjadi seberkas Nur sebesar biji ketumbar dibelah 7 bagian. Bercahaya bagai sebutir berlian yang berkilauan. Nah, rasa keluar dari jasad atau rasa berubah menjadi setitik Nur. Nur inilah yang disebut sebagai Rasa Tunggal Jati. Selain itu, baik dalam Meraga Sukma maupun Sholat Dha’im. Bila hendak bepergian kemana-mana kita tinggal meniatkan saja maka sudah sampai. Rasa ini juga dapat disebut Rasa Tunggal Jati. Sebab dalam bepergian itu kita sudah tidak merasakan haus, lapar, kehausan, kedinginan dan lain sebagainya. Bagi mereka yang berkeinginan untuk dapat melakukan Meraga Sukma dianjurkan untuk sering Tirakat/Kannat puasa. Jadikanlah puasa itu sebagai suatu kegemaran. Dan yang penting juga jangan dilupakan melakukan Dzikir gabungan NAFI-ISBAT dan QOLBU. Dalam sehari-hari sudah pada tahapan lillahi ta’ala. Hal ini berlaku baik mereka yang menghendaki untuk dapat melakukan SHOLAT DHA’IM. Kalau Meraga Sukma mempergunakan Nur ALLAH, tapi bila SHOLAT DHA’IM sudah mempergunakan Nur ILLAHI. Karena ada Rasa Sejati, maka Rasa merupakan asal usul segala sesuatu yang ada. Oleh sebab itu bila hendak mendalami ilmu MA’RIFAT Islam dianjurkan untuk selalu bertindak berdasarkan rasa. Artinya jangan membenci, jangan menaruh dendam, jangan iri, jangan sirik, jangan bertindak sembrono, jangan bertindak kasar terhadap sesame manusia, dll. Sebab dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, kita ini semua sama , karena masing-masing memiliki rasa. Rasa merupakan lingkaran penghubung antara etika pergaulan antar manusia, juga sebagai lingkaran penghubung pergaulan umat dengan Penciptanya. Rasa Tunggal jati ini mempunyai arti dan makna yang luas. Karena bagai hidup itu sendiri. Apapun yang hidup mempunyai arti. Dan apapun yang mempunyai arti itu hidup. Sama halnya apapun yang hidup mempunyai Rasa. Dan apapun yang mempunyai Rasa itu Hidup.Dengan penjelasan ini, maka dapat diambil kesimpilan bahwa yang mendiami Rasa itu adalah Hidup. Dan Hidup itu sendiri ialah Sang Pencipta/ALLAH. Padahal kita semua ini umat yang hidup. Jadi sama ada Penciptanya. Oleh sebab itu, umat manusia harus saling menghormati, tidak saling merugikan, bahkan harus saling tolong menolang dll.
Dan hal ini sesuai dalam firman ALLAH :
“HAI MANUSIA! MASUKLAH KALIAN DALAM PERDAMAIAN, JANGAN BERPECAH BELAH MENGIKUTI LANGKAH SYAITAN, SESUNGGUHNYA SYAITAN ITU MUSUHMU YANG NYATA”
tarekat
tingkatan percaya dalam artian tidak hanya mendengar dari orang lain atau
membaca kitab
Tuhan adalah pusat alam semesta
dan pusat
segala kehidupan karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah
yang pertama kali ada. Tuhan tidak hanya menciptakan alam semesta beserta
isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur, karena segala sesuatunya
bergerak menurut rencana dan atas ijin serta kehendakNYA
Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah sumber yang
dapat memberikan penghidupan, keseimbangan dan kestabilan,yang dapat juga
memberi kehidupan dan penghubung individu dengan dunia atas. Pandangan orang
Jawa yang demikian biasa disebut Manunggaling Kawula Lan Gusti,yaitu pandangan
yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan
kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya
selaku kawula terhadap Gusti Allah.
Tan samar pamoring Suksma Sinuksmaya winahya ing ngasepi
sinimpen ing telenging kalbu pambukaning warana
tarlen saking liyep layaping aluyup pindha pesating sumpena sumusuping rasa jati
sinimpen ing telenging kalbu pambukaning warana
tarlen saking liyep layaping aluyup pindha pesating sumpena sumusuping rasa jati
Upaya manusia
untuk memahami keberadaannya diantara semua makhluk yang tergelar di jagad
raya, yang notabene adalah makhluk, telah membawa manusia dalam perjalanan
pengembaraan yang tak pernah berhenti. Pertanyaan tentang dari mana dan mau
kemana (sangkan paraning dumadi) perjalanan semua makhluk terus menggelinding
dari jaman ke jaman sejak adanya " ada ". Pertanyaan yang amat
sederhana tetapi substansiil tersebut, ternyata mendapatkan jawaban yang justru
merupakan pertanyaan-pertanyaan baru dan sangat beragam, bergantung dari
kualitas sang penanya. Perkembangan
kecerdasan dan kesadaran manusia telah membentuk budaya pencarian yang tiada
henti. Apalagi setelah muncul kesadaran religius yang mempertanyakan " apa
atau siapa yang membuat ada " semakin menggiring manusia ke dalam
petualangan meraba-raba di kegelapan rimba raya pengetahuan. Di dalam kegelapan
itulah benturan demi benturan akibat perbedaan pemahaman terjadi. Benturan
paling purba berawal dari kisah Adam dan Hawa yang melemparkan mereka dari
surga. Benturan terkadang teramat dahsyat sehingga " perlu " genangan
darah dan air mata, yang dipelopori oleh Habil dan Qabil. Kesemuanya bermuara
pada kata sakti yang bernama " kebenaran " yang sungguh sangat
abstrak dan absurd. Tetapi bukankah hidup dan kehidupan ini abstrak dan absurd
? sehingga tak terjabarkan oleh akal-pikir yang paling canggih sekalipun.
Ketika akal-pikir tak lagi mampu menjawab pertanyaan diatas, manusia mulai
menggali jawaban dari " rasa " sampai akhirnya manusia merasa
seolah-olah telah menemukan apa yang dicari. Tetapi ketika pengembaraan rasa
tersebut sampai pada titik simpang, dimana di satu sisi muncul kebutuhan untuk melembagakan
hasil " temuan rasa " tersebut dan di sisi lain menolak pelembagaan,
kembali terjadi benturan-benturan yang sesungguhnya sangat tidak perlu terjadi.
Sesuatu yang tidak akan pernah diketahui, baik dengan akal-pikir dan rasa,
bahkan intuisi sekalipun. Sebab " dia " adalah Sang Maha Gaib. Rumusan apapun tentang " dia "
seperti apa yang telah dilakukan oleh manusia pasti akan menemui kegagalan.
Karena " dia " tidak pernah merumuskan " dirinya " secara
kongkrit, kecuali dalam bentuk simbol-simbol dan lambang-lambang yang
metaforik. Perjalanan panjang manusia yang menempuh jarak jutaan tahun untuk
mendapatkan jawaban pasti tentang " dia " menjadi amat bervariasi. Tetapi kepastian itu
sendiri tidak pernah dijumpai. Sehingga sebagian manusia menjadi putus asa,
karena perjalanan pencariannya tak ubahnya seperti tragedi Syshipus, sebuah
perjalanan kehilangan.
Sementara
untuk sebagian manusia lainnya, semangat pencariannya justru semakin menggebu.
Mereka tidak pernah patah, karena mereka tidak terpukau oleh hasil akhir. Telah
muncul kesadaran baru pada mereka, bahwa yang terpenting adalah proses
pencarian itu sendiri. Bertemu atau tidak bukan lagi menjadi pangkal kerisauan,
karena mereka menyadari, bahwa keputusan tidak berada di tangan manusia. Nah
mereka inilah para pejalan spiritual, sang pencari sejati yang selalu haus pada
pengalaman empiris di belantara pengetahuan tentang hal-hal yang abstrak,
absurd dan gaib. Dan mereka
adalah kita. Syarat utama bagi para pejalan spiritual adalah kebersediaannya
dan kemampuannya menghilangkan atau menyimpan untuk sementara pemahaman
dogmatis yang telah dimilikinya, dan mempersiapkan diri dengan keterbukaan hati
dan pikiran untuk merambah jagad ilmu pengetahuan ( kawruh ) non-ragawi. Ilmu
yang gawat dan wingit, karena sifatnya sangat mempribadi dan tidak bisa
diseragamkan dengan idiom-idiom yang ada, dimana idiom-idiom itu hanya bisa
dipergunakan sebagai rambu penunjuk yang kebenarannya juga sangat relative.
Pengalaman spiritual adalah pengalaman yang sangat unik dan sangat individual
sifatnya, sehingga kaidah-kaidah yang paling dogmatispun tak akan mampu
memberikan hasil yang sama bagi individu yang berbeda. Perjalanan spiritual
adalah proses panning upaya manusia untuk pencapaian tataran-kahanan ( strata,
maqom ) pembebasan, yaitu kemerdekaan untuk menjadi merdeka ( freedom to be
free ) dari segala bentuk keterikatan dan kemelekatan serta kepemilikan yang
membelenggu, baik yang bersifat jasmani maupun rohani, seprti dijalani oleh
para penuntun spiritual dimasa lampau. Jika persyaratan diatas sudah
disepakati, barulah terasa ada perlunya perjalanan wisata spiritual yang baru
saja kita lakukan. Jika terjadi pengalaman mistis bagi satu atau beberapa
orang, harus disikapi sebagai pengalaman yang bersifat " sangat individual
" yang tidak bisa diseragamkan.
Dyan punika rake ingkang winastan wirid
“Iman-Tauhid-Makrifat-Islam” inggih bapa-babunipun sedaya wirid ingkang
adedasar falsafah Islam. Ingkang wonten ing jagad Kejawen, ugi karan wirid
“Catur-Wiwara-Werit”, Catur : sekawan, Wiwara : margi, Werit : rungsid. Liripun
wedaran sekawan tataran margining panembah jati ingkang sekelangkung
rungsidipun. Awit menawi klinta-klintu ing penampi, bebasan umese “marta”
temahan “wisa”. Amila kala sugengipun para Waliyullah ing tanah Jawi duk jaman
kraon gung Bintara (Demak) kala rumiyin dumugi sapriki : wirid wau tansah dados
kekeran, pilih-pilih ingkang udani, jer boten kasiyaraken daten ngakatah,
inggih jalaran ngawekani klinta-klintuning penampi punika wau.
Duk kala sekawit : para Waliyullah ingkang
tinanggenah dening Negari amemejang babagan panembah jati punika, wejanganipun
sami adapur perlambang tuwin mawi basa ingkang sinandi, ananging boten ringsed
saking paugeran kekeran wau.
Wiwit jaman Demak, dumugi jamanipun panjenengan
dalem Nata Sultan Agung ing Mataram, taksih lestantun kados makaten, jer wiwit
jaman Demak dumugi jaman Mataram wau : ayahan memejang babagan panembah jati
punika kalebet bebadaning Negari ingkang wigatos, ingkang katindakaken dening
para pinicados. Pratelaning asma-asmanipun para pinicados amemejang wau kaewrat
wonten ing serat “Hidayat Jati” karanganipun Sang misuwur jagad tetiga swargi
Ki Pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita.
Ananging lamining alami, satemah katah ingkang sami
amemejang kalayan dedemitan, boten kapriksan dening Negari, tuwin katah ingkang
nyade ayating pangeran kalayan regi mirah (= mengku pamrih mligi babagan dunia)
lajeng katah wirid utawi wedaran ingkang mingsed sakedik tuwin mingsed katah
saking paugeran kasebut nginggil. Umumipun wirid-wirid ingkang makaten wau
kawadekaken asli saking primbon Elaranipun Wali anu utawi Nabi anu, terkadang
kawadekaken angsalipun saking seratan gaib utawi swara gaib, sapanunggalanipun. Sabakdanipun jaman Mataram, inggih wiwitipun jaman penjajahan ingkang
letantus tumindak kantun wirid-wirid jaman ingkang dedemitan wau, mekaten
selajengipun, dumugi saderengipun jaman Indonesia Merdeka.
Pangriptanipun serat punika gadah pemanggih, bilih
ing jaman Indonesia Merdeka tuwin jaman majengipun akal pikiran semangke
punika, boten wonten pakewedipun ambabaraken sedaya kekeran ingkang mlingit
punika, sinartan katrangan sajelas-jelasipun, ingkang saged katampi dening akal
lan pikiran. Pinten banggi saged dados urun-urun tumrap tujuwan pembangunan
lahir batos ing wekdal sapunika. Pangubahipun kadapur pawicantenanipun, mitra
kekalih, sami dene migunakaken basa Ngoko Andap jaman punika.
Wusana menawi wonten para nupiksa ingkang kasdu
nyaruwe, senajan kadon pundi kemawon wedalipun, bade katampi kalayan suka
pirenaning manah, saha ngaturaken genging panuwun.
Serat Kekiyasanning Pangracutan salah satu buah karya sastra Sultan Agung raja atara (
1613 - 1645 ) rupa-rupanya Serat Kekiyasaning Pangrautan juga menjadi
narasumber dala penulisan Serat Wirid Hidayat Jati oleh R.Ng Ronggowarsito
karena ada beberapa bab yang terdapat pada Serat kekiyasanning Pangrautan
terdapat pula pada Serat Wirid Hidayat
Jati. Pada manuskrip huruf Jawa Serat kekiyasanning Pangracutan tersebut
telah ditulis kembali pada tahun shaka 1857 / 1935 masehi. Disyahkan oleh pujangga
di Surakarta Ronggowarsito atau R.. Ng. Rongowarsito.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar