JAWA dan kejawen seolah tidak
dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu
sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa,
semasa zaman Hinduisme dan Budhisme. Dalam perkembangannya, penyebaran islam di
Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan
aspek kejawen sebagai jalur penyeranta yang baik bagi penyebarannya. Walisongo
memiliki andil besar dalam penyebaran islam di Tanah Jawa. Unsur-unsur dalam
islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya jawa semacam pertunjukan wayang
kulit, dendangan lagu-lagu jawa , ular-ular ( putuah yang berupa
filsafat), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang
dikembangkan,khususnya di Kerjaan Mataram (Yogya/Solo).
Dalam pertunjukan wayang kulit yang
paling dikenal adalah cerita tentang Serat Kalimasada (lembaran yang
berisi mantera/sesuatu yang sakral) yang cukup ampuh dalam melawan segala
keangkaramurkaan dimuka bumi. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa si pembawa
serat ini akan menjadi sakti mandraguna. Tidak ada yang tahu apa isi serat
ini. Namun diakhir cerita, rahasia dari serat inipun dibeberkan oleh
dalang. Isi serat Kalimasada berbunyi "Aku bersaksi tiada Tuhan
Selain Allah dan Aku bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya" ,isi ini tak
lain adalah isi dari Kalimat Syahadat.
Dalam pertunjukan wayangpun sang
wali selalu mengadakan di halaman masjid, yang disekelilingnya di beri parit
melingkar berair jernih. Guna parit ini tak lain adalah untuk melatih para
penonton wayang untuk wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk
masjid. Simbolisasi dari wudu yang disampaikan secara baik.
Dalam perkembangan selanjutnya, sang
wali juga menyebarkan lagu-lagu yang bernuansa simbolisasi yang kuat. Yang
terkenal karangan dari Sunan Kalijaga adalah lagu Ilir-Ilir. Memang
tidak semua syair menyimbolkan suatu ajaran islam, mengingat diperlukannya
suatu keindahan dalam mengarang suatu lagu. Sebagian arti yang kini banyak
digali dari lagu ini di antaranya :
Tak ijo
royo-royo tak senggoh penganten anyar : Ini adalah sebuah diskripsi mengenai para pemuda, yang
dilanjutkan dengan,
Cah
angon,cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko
sore : Cah angon adalah simbolisasi dari
manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, atau pemelihara alam bumi ini (angon
bhumi). Penekno blimbing kuwi ,mengibaratkan buah belimbing yang
memiliki lima segi membentuk bintang. Kelima segi itu adalah pengerjaan rukun
islam (yang lima) dan Salat lima waktu. Sedang lunyu-lunyu penekno ,
berarti, tidak mudah untuk dapat mengerjakan keduanya (Rukun islam dan salat
lima waktu) ,dan memang jalan menuju ke surga tidak mudah dan mulus. Kanggo
sebo mengko sore, untuk bekal di hari esok (kehidupan setelah mati).
Mumpung
padhang rembulane, mumpung jembar kalangane : Selagi masih banyak waktu selagi muda, dan ketika tenaga
masih kuat, maka lakukanlah (untuk beribadah).
Memang masih banyak translasi dari
lagu ini, namun substansinya sama, yaitu membumikan agama,menyosialisasikan
ibadah dengan tidak lupa tetap menyenangkan kepada pengikutnya yang baru.
Dalam lagu-lagu Jawa, ada gendhing
bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, kinanthi, asmaradhana,hingga
megatruh dan pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang
manusia. Ambillah Mijil,yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai
lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu. Sinom dapat di artikan
sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar. Maskumambang
berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk
putrinya dengan gendhingKinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan
atau katresnan antar keduanya disimbolkan dengan Asmaradhana.
Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat dipisah Megat-Ruh.Megat
berarti bercerai atau terpisah sedangkan ruh adalah Roh atau jiwa seseorang.
Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat beragama islam
tentu dalam prosesi penguburannya ,badan jenazah harus dikafani dengan kain
putih, mungkin inilah yang disimbolkan dengan pucung (atau Pocong).
Kesemua jenis gendhing ditata
apik dengan syai-syair yang beragam, sehingga mudah dan selalu pas untuk
didendangkan pada masanya.
Ada banyaknya filsafat Jawa yang
berusaha diterjemahkan oleh para wali, menunjukkan bahwa walisongo dalam
mengajarkan agama selalu dilandasi oleh budaya yang kental. Hal ini sangat
dimungkinkan, karena masyarakat Jawa yang menganut budaya tinggi, akan sukar
untuk meninggalkan budaya lamanya ke ajaran baru walaupun ajaran tesebut
sebenarnya mengajarkan sesuatu yang lebih baik,seperti ajaran agama islam .
Sistem politik Aja Nabrak Tembok (tidak menentang arus) diterapkan oleh
para dunan..
Dalam budaya jawa sebenarnya sangat
sarat dengan filsafat hidup (ular-ular). Ada yang disebut Hasta Brata yang
merupakan teori kepemimpinan, berisi mengenai hal-hal yang disimbolisasikan
dengan benda atau kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika, Angkasa,
Maruta,Samudra,Dahana dan Bhumi.
1. Surya (Matahari) memancarkan
sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu
menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
2. Candra (Bulan) , yang memancarkan
sinar ditengah kegelapan malam. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberi
semangat kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun duka.
3. Kartika (Bintang), memancarkan
sinar kemilauan, berada ditempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah,
sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi untuk berbuat kebaikan
4. Angkasa (Langit), luas tak
terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya.Prinsip seorang
pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri
dalam menampungpendapat rakyatnya yang bermacam-macam.
5. Maruta (Angin), selalu ada
dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang
kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan
derajat da martabatnya.
6. Samudra (Laut/air), betapapun
luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Pemimpin
hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya.
7. Dahana (Api), mempunyai kemampuan
membakar semua yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa
dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu.
8. Bhumi (bumi/tanah), bersifat kuat
dan murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang merawatnya. Pemimpin hendaknya
bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan
rakyatnya.
Dalam teori kepemimpinan yang lain
ada beberapa filsafat lagi yang banyak dipakai , agar setiap pemimpin
(Khususnya dari Jawa) memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya
dapat hidup tenang dalam menjalankan aktifitasnya seperti falsafah : Aja
gumunan, aja kagetan lan aja dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah
terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (walau
sebenarnya amat sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal
diluar dugaan dan tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung
sewaktu menjadi seorang pemimpin.Intinya falsafah ini mengajarkan tentang
menjaga sikap dan emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin.
Falsafah sebagai seorang anak
buahpun juga ada dalam ajaran Jawa, ini terbentuk agar seorang bawahan dapat
kooperatif dengan pimpinan dan tidak mengandalakan egoisme kepribadian,
terlebih untuk mempermalukan atasan, seperti digambarkan dengan, Kena cepet
ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni,kena takon ning aja ngrusuhi.
Maksudnya, boleh cepat tapi jangan mendahului (sang pimpinan) , boleh pintar
tapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tapi jangan menyudutkan
pimpinan. Intinya seorang anak buah jangan bertindak yang memalukan pimpinan,
walau dia mungkin lebih mampu dari sang pimpinan. Sama sekali falsafah ini
tidak untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi, inilah kode etik
atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara,
demi menjaga citra pimpinan yang berarti citra perusahaan dan bangsa pada
umumnya. Penyampaian pendapat tidak harus dengan memalukan,menggurui dan
mendemonstrasi (ngrusuhi) pimpinan, namun pasti ada cara diluar itu yang
lebih baik. Toh jika kita baik ,tanpa harus mendemonstrasikan secara vulgar
kebaikan kita, orang pun akan menilai baik.
Dalam kehidupan umum pun ada
falsafah yang menjelaskan tentang The Right Man on the Right Place
(Orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya). Di falsafah jawa
istilah itu diucapakan dengan Ajining diri saka pucuke Lathi, Ajining raga
saka busana. Artinya harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan
sebaiknya seseorang dapat menempatkan diri sesuai dengan busananya
(situasinya). Sehingga tak heran jika seorang yang karena ucapan dan pandai
menempatkan dirinya akan dihargai oleh orang lain. Tidak mengintervensi dan
memasuki dunia yang bukan dunianya ini ,sebenarnya mengajarkan suatu sikap yang
dinamakan profesionalisme, yang mungkin agak jarang dapat kita jumpai (lagi).
Sebagai contoh tidak ada bedanya seorang mahasiswa yang pergi ke kampus dengan
yang pergi ke mal , dan itu baru dilihat dari segi busana/bajunya , yang tentu
saja baju akan sangat mempengaruhi tingkah laku dan psikologi seseorang.
Masih banyak filsafat Jawa yang
mungkin, tidak dapat diuraikan satu persatu, terlebih keinginan saya bukan
untuk banyak membahas hal ini, mengingat ini bukan bidang saya, namun kami
hanya ingin memberikan suatu wacana umum kepada pembaca, bahwa, banyak sekali
ilmu yang dapat kita gali dari budaya (Jawa) kita saja, sebelum kita menggali budaya
luar terlebih hanya meniru (budaya luar)-nya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar